Dosen Sosiologi FISIP Menjadi Pembicara Public Sharing “Tantangan Demokrasi Kita”
Sosio FISIP UNS- Pada Minggu, 17 Maret 2023 Pusaka Institut Surakarta telah menyelenggarakan kegiatan Public Sharing dengan tajuk “Tantangan Demokrasi Kita”. Kegiatan ini diadakan di Joglo Putri, Surakarta. Public Sharing ini dihadiri oleh 5 pembicara dari berbagai bidang, mulai dari politisi, pengamat politik, aktivis, akademisi, hingga jurnalis. Pembicara yang hadir antara lain, Sudirman Said, Muhammad Fadlil Kirom, Ibnu Kurnia, dan Muchus Budi Rahayu, serta Theofilus Apolinaris Suryadinata.
Peserta kegiatan ini yaitu masyarakat umum yang terdiri dari masyarakat sipil, mahasiswa, aktivis politik, anak SMA, dan lain sebagainya. Isu-isu politik yang sedang terjadi di Indonesia menjadi pembahasan dalam kegiatan ini. Public Sharing memberikan kesempatan kepada seluruh pembicara untuk memaparkan pendapat dan opini mengenai persoalan demokrasi di Indonesia yang memburuk karena adanya politik dinasti, hingga praktik kecurangan politik seperti politik uang yang beredar di masyarakat.
Menurut pemaparan Sudirman, rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, tidak boleh abai terhadap perilaku-perilaku yang melanggar hukum. Sementara itu, Muhammad Fadlil Kirom menyatakan bahwa saat ini demokrasi di Indonesia dipengaruhi oleh pasar bebas. Pernyataan ini didukung oleh Jurnalis Senior Muchus Budi yang mengatakan bahwa demokrasi Indonesia dalam kondisi sedang tidak baik-baik saja.
Sementara itu, Theofilus Apolinaris Suryadinata selaku Akademisi, Dosen Sosiologi FISIP UNS yang mengampu mata kuliah Dasar-Dasar Logika, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Pengantar Sosiologi, Teori Sosiologi Klasik, dan Teori Kritis, berkesempatan untuk menjadi pembicara dan menyampaikan pendapat ilmiahnya terkait politik dinasti.
Menurut Theofilus Apolinaris Suryadinata. demokrasi sejak Yunani Klasik sudah dianggap sebagai salah satu sistem politik yang buruk, karena seorang penjahat bisa terpilih sebagai pemimpin karena prinsip mayoritas. Namun, setelah adanya Revolusi Perancis, ditemukan bahwa meskipun demokrasi memiliki keburukan, tetapi tetap dianggap sebagai salah satu cara terbaik karena demokrasi memungkinkan checks and balances, pemisahan kekuasaan (Trias Politika), dan adanya pembatasan kekuasaan.
Kedua, demokrasi sejak adanya Revolusi Perancis memiliki paradoksnya tersendiri. Di satu sisi, secara filosofis normatif, setiap orang bebas dan setara martabatnya sebagai manusia, sehingga setiap orang dapat berpartisipasi menjadi pemimpin dan memilih pemimpin, setara di depan hukum. Tidak ada privilese secara martabat sebagai manusia. Tetapi, secara sosiologis tidak setiap orang itu setara, ada yang datang dari kelompok kaya atau menjadi orang kaya dan berkedudukan, sementara itu ada juga yang miskin dan tidak berkedudukan tinggi di masyarakat. Ketika mereka bertarung dalam demokrasi, dengan mudah pihak yang kaya dan berkuasa memenangkan pertarungan.
Theofilus Apolinaris Suryadinata, menyatakan bahwa negara kita sudah menerapkan prinsip modern state (negara modern) yang ditandai oleh hadirnya birokrasi. Birokrasi merupakan bentuk rasional pengelolaan organisasi, termasuk negara yg berdasarkan prinsip: legal formal, hubungan yang impersonal, profesional (berbasis kompetensi), dan efektif-efisien. Akan tetapi, kerap dijumpai adanya hubungan-hubungan yang bersifat personal (entah berbasis keluarga atau kelompok primordial tertentu).
Ketika paradoks demokrasi hadir bersamaan dengan birokrasi yang tidak luput dari hubungan-hubungan yang bersifat personal, di situlah politik dinasti menjadi sangat mungkin terjadi. Sedangkan masalah politik uang, itu terjadi karena partai-partai politik yang memang banyak masalahnya.
“Kaderisasi dan pendidikan politik tidak berjalan dengan baik. Ketika seorang caleg misalnya hanya muncul menjelang pemilu, maka memang tidak mengherankan jika ia menggunakan uang untuk membeli suara pemilih,” terang Theofilus.
Berdasarkan pemaparan Theofilus Apolinaris Suryadinata, terdapat agenda praktis yang dapat ditawarkan, yaitu kita perlu serius mengadvokasi UU tentang anti dinasti politik yang pernah dibatalkan MK dengan menggunakan argumen paradoks demokrasi dan potensi cacat birokrasi dalam negara modern. Selain itu, supaya kaderisasi di partai politik berjalan, maka perlu mengadvokasi UU pembatasan kekuasaan anggota legislatif yaitu cukup 2 periode sama seperti kekuasaan eksekutif. Dengan demikian, legislatif bisa diisi oleh orang-orang muda baru yang cerdas, berintegritas, berpikiran segar dan melakukan perubahan politik baik di partai maupun di legislatif secara lebih baik.
Penulis: Triana Rahmawati dan Aisya Lu’luil Maknun