Rumah Swadaya untuk Masyarakat dalam Program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) di Jawa Tengah, Bagaimana Perwujudannya?

Indonesia masih memiliki berbagai permasalahan dalam pembangunan yang belum merata. Pembangunan yang belum merata tidak hanya berpengaruh dalam fasilitas-fasilitas umum yang ada. Namun juga berpengaruh pada permasalahan pada fasilitas yang dimiliki oleh individu dalam masyarakat. Salah satu permasalahan yang ada yaitu masih adanya permasalahan rumah tidak layak huni di Indonesia. Maka dari itu Direktorat jenderal (Dirjen) Perumahan, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat memiliki Program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) yang bertujuan menangani percepatan permasalahan rumah tidak layak huni. Tujuan tersebut dilakukan melalui skema peningkatan keswadayaan bagi masyarakat berpenghasilan rendah untuk pembangunan kualitas rumah ataupun pembangunan baru rumah beserta prasarana, sarana, dan utilitas umum. Rumah swadaya merupakan rumah yang dibangun atas prakarsa dan upaya masyarakat dengan bentuk berupa tanah yang dimiliki/dikuasai, tenaga kerja, modal sosial, tabungan, maupun bahan bangunan. Bentuk swadaya tersebut yang digunakan sebagai stimulan maupun dorongan untuk meningkatkan percepatan permasalahan rumah tidak layak huni masyarakat.

Salah satu mahasiswa Sosiologi, FISIP UNS angkatan 2021 yaitu Armeita Khalawati dengan NIM D0321019 berkesempatan untuk bergabung dalam program Magang Studi Independen Bersertifikat (MSIB) dan menjadi fasilitator pada program BSPS Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Dalam mengikuti kegiatan MSIB ini, Armeita Khalawati dibimbing oleh Dr. Yuyun Sunesti, G.D., Soc., M.A selaku Dosen Sosiologi UNS. Selama mengikuti program MSIB, Armeita mendapatkan berbagai pengalaman mengenai program BSPS, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

Dikutip dari website Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, (2023) menyatakan bahwa program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) ditargetkan dapat meningkatkan kualitas hunian masyarakat hingga sebanyak 149.750 unit dengan total anggaran program pada tahun 2023 sebesar Rp3,29 triliun tersebar di 34 provinsi di Indonesia. Dana yang disalurkan untuk stimulan masyarakat, masing-masing akan mendapatkan dana BSPS senilai Rp20 juta dengan rincian Rp17,5 juta untuk pembelian bahan bangunan dan Rp2,5 juta untuk upah tukang/pekerja. Adapun indikator-indikator keberhasilan program BSPS ini, dinilai dari keswadayaan masyarakat yaitu tentang kesadaran terhadap pentingnya rumah layak huni, keaktifan dalam proses kegiatan, serta bentuk nilai atau besaran yang dimiliki masyarakat untuk dapat membantu keberhasilan proses pembangunan. Bentuk keswadayaan dapat beraneka ragam, yaitu gotong royong dari keluarga atau saudara atau tukang, tabungan bahan material, ternak, maupun uang. 

Dalam persiapan kegiatan BSPS ini, nama desa dan Calon Penerima Bantuan (CPB) yang diusulkan dari pemerintah daerah bersumber dari data (Rumah Tidak Layak Huni) RTLH yang kemudian akan diseleksi melalui verifikasi lapangan oleh Tenaga Fasilitator Lapangan (TFL). Verifikasi lapangan merupakan tahap awal untuk mengetahui kondisi rumah Calon Penerima Bantuan (CPB) mulai dari struktur pondasi, sloof, kolom, ring balok, struktur atap, sanitasi, pencahayaan, penghawaan, dsb. Pemeriksaan dan pengamatan dilakukan secara mendalam untuk mengetahui kerusakan maupun kekurangan struktur rumah yang belum lengkap. Dalam prosedur verifikasi lapangan program BSPS, dilakukan penilaian kualitas rumah tidak layak huni mulai dari penilaian keselamatan bangunan, penilaian kecukupan minimum luas bangunan, penilaian akses sanitasi dan akses air minum, serta penilaian kualitas pencahayaan dan penghawaan. Dalam kegiatan ini pula dilakukan pengecekan kelengkapan administrasi awal seperti KTP, KK, dan sertifikat tanah. Selain itu, dilakukan juga penggalian potensi keswadayaan yang dimiliki oleh masyarakat. Keswadayaan yang ditanyakan dapat berbentuk swadaya keluarga/kerabat, swadaya bahan material, dan swadaya ternak/tabungan/uang. Gambar di bawah ini merupakan verifikasi lapangan Calon Penerima Bantuan (CPB).

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa dana bantuan sebesar Rp20 juta ditambah dengan keswadayaan yang dimiliki oleh masyarakat digunakan untuk tujuan membangun rumah yang layak huni sesuai dengan ketentuan program BSPS. Dimana masyarakat Penerima Bantuan (PB) harus memenuhi syarat, salah satunya berpenghasilan maksimal UMP/UMK. Program BSPS ini ditujukan kepada Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dengan output rumah layak huni. Dari sini dapat kita pertanyakan makna “swadaya” yang sebenarnya terkait dengan ketentuan program yang ditujukan kepada Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Apakah program yang ditujukan untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dapat berjalan efektif dengan konsep “swadaya”? Terkait dengan hal tersebut, dalam melakukan kegiatan verifikasi di lapangan terdapat tidak sedikit Calon Penerima Bantuan (CPB) yang diusulkan mundur karena tidak siap swadaya. Kenyataan yang terjadi, alasan mereka mengundurkan diri dari program yaitu dana bantuan sebesar Rp20 juta dirasa kurang menunjang penyelesaian pembangunan rumah mereka, sehingga mereka harus siap berswadaya. Hal yang dirasa sulit ketika Calon Penerima Bantuan (CPB) yang di verifikasi tidak berpenghasilan karena sudah sepuh dan tidak memiliki keswadayaan apapun terpaksa harus mengundurkan diri dari program. Makna keswadayaan disini merujuk pada kemampuan masyarakat untuk dapat berpartisipasi aktif dalam program. Sehingga, masyarakat yang memiliki tingkat keswadayaan yang mendukung dapat menjadi penunjang keberjalanan program pembangunan. Sebaliknya, masyarakat yang tidak memiliki tingkat keswadayaan yang cukup seperti masyarakat yang tidak memiliki penghasilan akan sulit untuk mengikuti program. Gambar di bawah ini merupakan tahap pembangunan dalam program BSPS.

Penerima Bantuan (PB) yang sudah lolos tahap verifikasi lapangan dan berkas administrasi harus berkomitmen untuk melaksanakan dan menyelesaikan pembangunan. Masyarakat tersebut tergabung dalam Kelompok Penerima Bantuan (KPB) yang harus menyelesaikan pembangunan pada tahap 30% dan 100% pada tanggal yang telah disepakati kelompok. Progress pembangunan 30% ini terkait dengan prosedur pencairan upah tukang tahap pertama, sebesar Rp1.250.000 dan selanjutnya progress pembangunan 100% untuk pencairan upah tukang tahap kedua, sebesar Rp1.250.000. Berdasarkan temuan di lapangan, Penerima Bantuan (PB) yang membangun rumah baru dari pondasi mengeluarkan swadaya uang sebesar Rp 40-60 juta, sedangkan untuk yang melakukan pembangunan perbaikan rumah harus mengeluarkan swadaya uang sebesar Rp10-15 juta. Dana tersebut digunakan untuk membayar upah tukang sejumlah 3-4 orang tukang dan menyelesaikan pembangunan rumah mereka. Dari kenyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa program BSPS ini ditujukan untuk masyarakat yang benar-benar siap swadaya dengan ketentuan yang harus diikuti demi mewujudkan rumah layak huni. Tidak hanya dengan kesadaran terhadap pentingnya rumah layak huni dan keaktifan dalam proses kegiatan, masyarakat juga harus memiliki bentuk nilai atau besaran keswadayaan untuk dapat mengikuti program BSPS. 

 

Penulis: Armeita Khalawati (D0321019)
Editor: Triana Rahmawati dan Aisya Lu’luil Maknun